"Kalau dari pemerintah, data HGU Sawit masih tertutup,” ucap salah seorang narasumber Eco Blogger Squad.
Saya
terngiang-ngiang dengan kalimat tersebut. Pasalnya, pemerintah diduga
menutup data Hak Guna Usaha (HGU) Sawit di Indonesia. Di satu sisi,
dunia sedang gencar untuk mencegah krisis iklim. Salah satu cara untuk
mencegah krisis iklim dengan menerapkan penggunaan biofuel.
Ya,
Eco Blogger Squad dari Blogger Perempuan Network membahas Biofuel
dengan tema "Mengenal Lebih Jauh Tentang Biofuel.” Ada dua orang
narasumber saat itu, yakni Kukuh Sembodho selaku Program Asisten Biofuel
Yayasan Madani Berkelanjutan dan Ricky Amukti selaku Engagement Unit
Manager Traction Energy Asia.
Saya
merasa kurang percaya terhadap pemerintah terkait kebijakan biodiesel.
Salah satunya terkait HGU Sawit di Indonesia. Masih ada data yang
dirahasiakan oleh pemerintah atau bisa dibilang tidak transparan.
Kalian
tau apa itu Biofuel? Biofuel adalah energi yang terbuat dari materi
hidup, biasanya dari tanaman. Dalam biofuel terdapat beberapa jenis seperti
bioetanol, biodiesel, dan biogas. Nah, biofuel ini dianggap sebagai
energi baru terbarukan untuk mengurangi peran dari bahan bakar fosil.
Selain itu telah mendapat perhatian dalam transisi ke ekonomi rendah
karbon.
Selama
ini, pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, gas, dan minyak
dapat menciptakan karbon dioksida atau gas rumah kaca yang menyebabkan
pemanasan global. Karena konsentrasi emisi CO2 di atmosfer telah tumbuh
ke tingkat tertinggi, maka pemerintah menyerukan untuk melakukan
pengurangan emisi yang lebih tajam dan mengekang penggunaan bahan bakar
fosil untuk memenuhi tujuan iklim global.
Biodiesel
yang merupakan jenis biofuel terbuat dari bahan baku minyak sawit
mentah, minyak jarak, minyak kelapa, dan lainnya. Manfaatnya untuk
menggantikan peran energi fosil yang tidak dapat terbarukan dan
meninggalkan lebih banyak emisi gas rumah kaca sehingga menurunkan
kualitas lingkungan.
Hal
ini dianggap sebagai alternatif untuk mengurangi perubahan iklim. Pasalnya
biodiesel bisa digabungkan dengan minyak solar untuk bahan bakar mobil
dan mesin diesel tanpa modifikasi.
Penyediaan bahan utama biodiesel di Indonesia
berasal dari minyak kelapa sawit. Strategi pemerintah beralih ke energi
baru terbarukan dengan tak lagi mengandalkan energi fosil, bisa berimbas pada
deforestasi.
Perkebunan
kelapa sawit membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Ada kebutuhan lahan
hingga 9,3 juta hektare pada 2025 jika pemerintah menggenjot bauran
biodiesel 50% dan solar atau yang dikenal dengan nama B50. Ekspansi
perkebunan kelapa sawit itu akan mengancam target Indonesia menurunkan
emisi sebanyak 29% pada 2030.
Campuran
bahan bakar nabati atau biodiesel adalah strategi menyediakan energi
baru dan terbarukan pemerintah Indonesia. Ada tiga skenario mencapainya
sejak 2020, yakni B20, B30, dan B50. Selain mengurangi ketergantungan
pada energi fosil, biodiesel juga akan menghemat impor solar, dan
menekan produksi emisi karbon.
Tata
kelola perkebunan sawit menjadi soal dalam kebijakan biodiesel yang
akan berdampak pada sektor lain. Hal ini tidak kunjung bisa
berkelanjutan karena rendahnya transparansi, pembukaan lahan,
ketenagakerjaan, hingga keterlacakan produk dan rekam jejak efektivitas
pengurangan emisi menjadi industri sawit.
Emisi
pembukaan lahan menghasilkan 20 kali lipat dari emisi yang bisa ditekan
jika memakai biodiesel. Emisi biodiesel sebesar sebesar 3,14 kilogram
setara CO2 per liter, sementara alih fungsi hutan primer 68,61 kilogram
CO2 per liter.
“Pemakaian
minyak jelantah juga menekan deforestasi 939.000-1,48 juta hektare.
Tetapi manfaat ekonominya bagi masyarakat tetap sama,” kata narasumber.
Ya, Solusi
alternatif mengganti sawit sebagai bahan bakar nabati atau biodiesel
adalah dengan minyak jelantah. Minyak jelantah bisa menekan emisi
sekitar 80-90% dibanding energi dari bahan lain. Dibandingkan biodiesel,
emisi minyak jelantah sebanyak 0,314%.
Hutan
Indonesia dengan luasan 94.1 juta hektar memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati yang luar biasa dan berfungsi sebagai penyimpan
karbon dioksida. Lahan gambut juga sangat kaya akan karbon. Ketika lahan
diubah menjadi kebun sawit, karbon akan terlepas ke udara.
Pada
tahun 2014, lebih dari setengah emisi karbon Indonesia muncul dari
perusakan hutan dan perubahan penggunaan lahan. Produksi sawit meningkat
setiap tahun, dari 26 juta ton di tahun 2012 menjadi hampir 46 juta ton
di 2016. Akibatnya, pembukaan hutan juga meningkat. Di Kalimantan, 50%
deforestasi antara tahun 2005 dan 2015 terkait dengan pengembangan
kelapa sawit.
Hal Yang Harus Dilakukan
Mengembangkan
biodiesel dipandang hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha
sawit, bukan untuk menyejahterakan petani skala kecil. Biodiesel
dianggap merusak stabilitas makro ekonomi karena kebijakan hanya berjalan
efektif bila ada subsidi.
Menariknya,
tren konsumsi biodiesel di banyak negara seperti di Eropa dan Amerika
justru menurun. Negara tersebut semakin gencar melakukan transisi ke
energi terbarukan seperti surya dan angin, bukan biodiesel.
Nah
untuk itu, menurut saya, penggunaan biodiesel ini seperti
“ketinggalan”. Tapi jika tetap menggunakan kelapa sawit, pemerintah
harus memperhatikan beberapa langkah.
Berdasarkan data dari Sawit Watch,
55% dari seluruh perkebunan sawit dikelola oleh 30 grup perusahaan
besar. Mereka merupakan para elite bisnis yang di masa lalu memiliki
akses lahan (dengan korupsi dan perlindungan politik).
Selama
lahan tersedia dan bisnis dapat mengakses dengan harga yang cukup
murah, mereka akan terus memperluas perkebunan. Dengan demikian,
pemerintah harus menutup celah dari moratorium, mengkaji izin, dan
mengambil langkah hukum untuk melawan perluasan perkebunan yang dilakukan secara ilegal.
Dari pembahasan, solusi alternatif lain adalah penggunaan minyak jelantah. Dari sekitar 3 juta KL minyak jelantah, hanya kurang dari 570 ribu KL yang dimanfaatkan sebagai biodiesel maupun kebutuhan lainnya. Sebagian besar digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor.
Selain itu, pemerintah juga harus transparan terkait HGU Sawit di Indonesia. Jangan
sampai biodiesel yang berasal dari kelapa sawit menjadi celah para
pengusaha dalam memperluas perkebunan kelapa sawit dengan menebangi
seluruh hutan Indonesia. Dan jangan sampai ini menjadi alasan Indonesia menolak nol deforestasi.
Saya setuju tentang 'melawan perluasan perkebunan yang dilakukan secara ilegal'.
ReplyDeleteSepengetahuan saya, sisa dari penanaman sawit itu, tanahnya menjadi bermasalah, bener gak?
Tanahnya jadi rusak gitu. Dan harus didiamkan beberapa tahun..
Bener gak sih Bang Alfie?
Bener banget bang.
ReplyDeleteRerata yang menguasai adalah level pengusaha.
Kalo hanya skup petani kecil biasa, biasa terjadi peras memeras harga. Apalagi beberapa waktu lalu mereka panen dalam kondisi banjir.
Adapun itu, Setuju sekali dengan pemanfaatan teknologi pengganti alternatif agar bumi terlindungi
Kenapa ditutupi? Sebagian besar karena faktanya menyakiti masyarakat kan kak.
ReplyDeleteKebanyakan malah yang menguasai taipan dari luar negara.
Bertambahnya jumlah manusia tak bisa dielakkan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap penggunaan energi. Biodiesel sejak lebih dari sepuluh tahun lalu sudah digaung-gaungkan sebagai energi pengganti terbarukan dari perusahaan sawit swasta. Sedangkan perusahaan sawit negeri sendiri bahkan belum menyentuh pengembangan biodiesel dimaksud.
ReplyDeleteSaya setuju dengan manusia harus mencari energi terbarukan lain seperti dari angin atau air yang minim menimbulkan efek perusakan bumi lebih jauh.
kalaupun nanti sebagian pakai biodesel dari bahan sawit, semoga pemerintah memberi izin kebun sawit itu untuk masyarakaf perorangan dengan penetapan luas kebun maksimalnya, jangan sampai hanya dikuasai oleh elit tertentu saja
ReplyDeleteDilematis memang, tapi sebetulnya ada beberapa alternatif selain minyak jelantah. Di peternakan sapi, misalnya, ada metana yang bisa dikonversi sebagai bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga. Selain bisa menjadi solusi dari limbah peternakan, bisa juga jadi bahan bakar. Ga tau kalau kendaraan ya. Kendaraan mungkin bisa pakai tenaga surya, tapi ini pun harus konversi mesin kendaraan lagi ya kan.
ReplyDeleteDibanding sawit, sebetulnya secara dampak lingkungan masih mendingan biji jarak bukan sih? Dulu pernah belajar ini. Yah, apapun itu, kalau sistemnya masih belum beres, susah jadinya 😂
Saya entah kenapa kekeuh untuk buat barang pribadi, seperti bodycare kayak sabun dll yg notabene pake minyak sawit beralih ke minyak jarak, vco dll kecil sih tp itu perubahan besar buat saya, apalagi semuanya buat sendiri.
ReplyDeleteSetuju dgn kata kak ecy, memang sebaiknya penggunaan minyak sawit sudah harus beralih sih kan masih ada minyak jarak, minyak kelapa dan lainnya, yg seremnya itu koq ada minyak jelantah daur ulang yang diekspor? Manfaat kesehatannya ada gak ya?
DeleteBang Alvie, saya bener-bener merinding nih baca artikel ini. Yang saat ini terjadi lahan gambut banyak digunakan sebagai lahan sawit. Padahal dulu mikirnya ya lingkungan akan tetap sejuk, eh enggak taunya malah sebaliknya. Sebenarnya ini juga yang menjadi kedilemaan bersama. Semoga kedepannya ada penggerak dari bangsa Indonesia yang mengaplikasikan energi terbarukan dalam kehidupan sehari-hari.
ReplyDeleteSebenarnya kecewa dengan pemerintah yang gak transparan soal data, semoga ada solusi untuk kasus ini ya bang, aamiin
ReplyDeleteBarusan ikut webinarnya Duber Norwegia, Pak Todung Mulya Lubis, di sana udah gak menggunakana BBM dari fosil lagi, pakai yang biofuel dan sejenisnya ini. Semoga persoalan HGU sawit dan sebagainya ini bisa clear yaa
ReplyDeleteUntuk hak guna usaha yang katanya ditutupi, saya juga kurang setuju...kenapa hal seperti ini mesti ditutupi...
ReplyDelete